Kamis, 24 November 2011

Khilafah Islam: Solusi Umat yang Diwajibkan dan Dijanjikan Alah, serta Diserukan Oleh Para Ulama

1.   Hakikat Khilafah
Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Jika Anda membuka kitab Lisanul Arab karya Imam Ibnu Mandzur, maka Anda semua akan mendapatkan definisi seperti ini.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).
b.  Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia.  Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.
c.   Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.
d.  Sistem  pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.
e.  Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer. Ini bisa kita temukan dalam pembahasan kitab fiqih klasik, seperti Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Al Mawardi, Qawaninul Wuzara’ wa Siyasatul Mulk, juga karya Imam Al Mawardi, Ahkamus Sulthaniyah, karya Abu Ya’la Al Farra’, dan Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah.

Sedangkan dalam karya fiqih yang ditulis oleh ulama fiqih modern, pasca  jatuhnya khilafah Islam, di samping pembahasan mengenai struktur dan peranan setiap struktur negara, juga dibahas bentuk negara, sistem pemerintahan, serta model ideal negara khilafah Islam yang sesuai dengan perkembangan baru. Kajian yang paling lengkap dalam masalah ini adalah buku Nizhamul Hukmi fil Islam, karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, juga Abul A’la Al Maududi. Meskipun karya yang terakhir ini banyak pandangan yang tidak orisinal Islam, dan masih terpengaruh dengan konsep baru yang berkembang pada zamannya, seperti konsep Theodemocracy yang diperkenalkan oleh penulisnya.

2.   Khilafah adalah janji Allah
Allah swt. berfirman,
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasan di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS. An Nur: 55)

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Inilah janji Allah swt. kepada Rasulullah saw. bahwa Allah swt. akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafa’ul ardh, yaitu pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (yaitu para khalifah), akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.”

Imam Ath Thabari menyatakan, “Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula Allah akan menjadikan mereka peguasa dan pengaturnya.” Lihat dalam Tafsir Ath Thabari.

Imam Asy Syaukani berkata dalam kitabnya Fathul Qadir, “Inilah janji dari Allah swt. kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang kekhilafahan bagi mereka di muka bumi sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi sahabat saja. Sesungguhnya pendapat ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada para sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.

Rasulullah saw. bersabda,
“‘Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.’ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan Al Bazaar)

Hadis di atas adalah kabar dari Rasulullah bahwa suatu saat akan datang kembali sistem khilafah yang diterapkan dengan metode kenabian.

Rasulullah juga menyatakan bahwa orang yang akan menggantikan beliau, mengurusi urusan agama dan dunia adalah seorang khalifah. Beliau bersabda,
’Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, lalu akan ada para khalifah yang banyak.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang Anda perintahkan kepada kami?’ Nabi saw. menjawab, ‘Tunaikanlah baiat khalifah yang pertama saja.’” (HR. Bukhari)

Di sini Nabi Muhammad saw. menyebut penggantinya bukanlah nabi, sebab tidak ada nabi lagi melainkan para khulafa’ dan jumlahnya banyak.

3.   Dalil wajibnya keberadaan Khilafah Islamiyah
Banyak nash syara’, baik Alquran maupun Assunnah, yang memerintahkan kaum muslimin untuk merealisasikan adanya khilafah Islam, antara lain:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

Ayat ini memerintahkan ketaatan kepada Allah, dan Rasul serta pemimpin, dimana hukum ketaatan tersebut adalah wajib. Maka, baik Allah maupun Rasul, keberadaannya sama-sama pasti, karena itu hukum menaatinya adalah pasti; tidak berubah menjadi tidak wajib hanya karena ketiadaan objek yang ditaati. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk menaati, maka hukum mewujudkan objek yang ditaati menjadi pasti (wajib). Sebab, tidak pernah ada hukum wajib diperintahkan atas sesuatu yang keberadaannya tidak ada.

Di samping ayat di atas, juga banyak ayat lain yang berkaitan dengan kewajiban untuk melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri, cambuk atas orang yang berzina (ghairul muhshan), dan sebagainya, yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan adanya khilafah Islam. Maka, hukum adanya khilafah Islam adalah wajib, sebagai bagian dari hukum wajibnya melaksanakan hudud tersebut. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul:
Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya  sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib pula.”

Sedangkan nash hadis adalah sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:
Sesungguhnya imam adalah laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di  belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai pelindung.”   (HR. Muslim)

Hadis di atas memberikan ikhbar (pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu “imam adalah laksana perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” tersebut membawa akibat tegaknya hukum Islam dan sebaliknya apabila “sesuatu yang dipuji” tersebut tidak ada, hukum Islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi yang tegas), bahwa “sesuatu yang dipuji tersebut” hukumnya adalah wajib.

Ada juga hadis Nabi Muhammad saw. tentang baiat, yaitu dari Abdullah bin Umar,
Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah.  Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim)

Nabi Muhammad saw. telah mewajibkan kaum muslim agar di atas pundak mereka terdapat baiat. Beliau mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada baiat seperti mati jahiliyah. Baiat itu hanya diberikan kepada khalifah, bukan yang lain.

Rasululah telah mewajibkan agar di atas pundak mereka terdapat baiat kepada khalifah, namun beliau tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan baiat. Karena yang wajib hanyalah adanya baiat di atas pundak setiap muslim, yaitu adanya seorang khalifah. Sehingga dengan adanya seorang khalifah itu maka baiat bisa diwujudkan. Adanya khalifahlah yang esensinya yang menentukan ada dan tidaknya baiat di atas pundak setiap muslim. Baik mereka membaiatnya secara langsung atau pun tidak. Karena itu hadis di atas adalah dalil wajibnya menegakkan khilafah bukan dalil wajibnya baiat. Karena yang dikecam oleh Rasulullah adalah tidak adanya baiat di atas pundak kaum muslimin, hingga mereka mati, dan bukan mengecam tidak adanya baiat itu sendiri.

4.   Para ulama mewajibkan diterapkannya syariah Islam dalam naungan khilafah Islam
Sesuatu yang dipuji itu tidak ada lain adalah adanya khilafah Islam, yang akan menjadi “perisai” bagi kaum muslimin. Karena itu, semua ulama sepakat mengenai kewajiban mengangkat dan menegakkan khilafah Islam, jika institusi tersebut tidak ada, baik dari kalangan Ahlusunnah wal Jamaah, Syiah, Khawarij maupun Mu’tazilah. Semuanya berpendapat, bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam dan hukum mengangkatnya adalah wajib.

Imam Ahmad mengatakan: “Fitnah akan terjadi manakala tidak ada imam yang melaksanakan urusan orang banyak.

Imam An Nawawi berkata: “Mereka (para imam mazhab) sepakat bahwa mengangkat khalifah (kepala negara khilafah) adlaah wajib adanya.” Silahkan dilihat dalam Syarh Sahih Muslim.

Imam Al Mawardi berkata: “Mengangkat imam (khalifah) bagi yang menegakkannya di tengah-tengah umat, merupakan kewajiban berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad saw.” Hal ini terdapat dalam kitab beliau Ahkamus Sulthaniyah.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib menjadikan kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taqarrub kepada Allah di dalam kepemimpinan (kekhalifahan) itu diraih dengan menaati Allah dan rasul-Nya, adalah termasuk dalam taqarub yang paling utama.” Hal ini terdapat dalam kitab Majmu Fatawa, sebuah kitab beliau yang sangat terkenal.

Imam Al Qurthubi, seorang mufassir dari mazhab Maliki, ketika menafsirkan QS. Al Baqarah: 30 menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil pasling asal (mendasar) mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Asham.” Pernyataan Imam Al Qurthubi ini terdapat dalam kitab beliau Al Jami’ li Ahkamul Quran.

Dalam kitab tersebut pula, Imam Al Qurthubi menyatakan, “Seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu mengapa terjadi perdebatan tentang imamah?

Imam Ibnu Hajar Al Haitsami menyatakan, “Ketahuilah, para sahabat radhiyallahu anhum seluruhnya bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai hal yang paling penting. Buktinya, para sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan mereka dalam hal siapa yang akan menjadi pemimpin tidak merusak ijma yang telah disebutkan tadi.” Silahkan dilihat dalam kitab beliau Ash Shawaiqul Muhriqah.

Imam Al Iji dalam kitab beliau Al Mawaqif dinyatakan, “Maksud Asy Syari’ (Allah swt) dalam apa yang telah disyariahkan berupa muamalah, munakahat, jihad, hudud, peradilan, serta syiar-syiar Islam lainnya semuanya tidak lain adalah kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepada manusia. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adaya seorang imam (khalifah) yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang diperselisihkan oleh para hamba.

Imam ‘Alauddin Al Kassani dari mazhab Hanafi menyatakan dalam kitab beliau Bada’ish Shanai’ fi Tartibusy Syarai’, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariyah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan ijma sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam akan imam yang agung tersebut, demi keterikatan dengan hukum, untuk menyelamatkan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang zalim, untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan, dan kemasalahatan-kemaslahatan lainnya yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.”

Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hambali dari mazhab Hambali menyatakan, “Ayat ini (QS. Al Baqarah: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pendapat tersebut kecuali yang diriwayatkan Al Asham dan para pengikutnya.” Lihat dalam kitab Tafsirul Lubab fi Ulumul Kitab.

Imam Al Syanqithi menyatakan dalam kitab beliau ‘Adhwa’ul Bayan, “Termasuk perkara yang sudah jelas (ma’lumun minad din bidh dharurah) bahwa kaum muslim wajib mengangkat seorang imam (khalifah) yang kepadanya terhimpun kalimat dan menerapkan hukum-hukum Allah di bumi-Nya.”

Imam Ibnu Hazm Al Andalusi Azh Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa imamah (kekhalifahan) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An Najadat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi ijma sahabat dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di dua tempat atau tidak.” Pernyataan beliau ini terdapat dalam kitab Maratibul Ijma’.

Di kitabnya yang lain Ibnu Hazm menyatakan, “Mayoritas Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah, dan Khawarij sepakat mengenai kewajiban menegakkan imamah (khilafah). Mereka juga bersepakat bahwa umat Islam wajib mentaati imam (khalifah) yang adil yang menerapkan hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” Lihat kitab beliau yang sangat terkenal Al Fashl fil Milal wan Nihal.

Jadi, tidak diragukan lagi, bahwa hukum menegakkan khilafah Islam adalah wajib, kecuali setelah timbulnya bencana yang dipicu oleh Najadat (dari golongan Mu’tazilah), Al Asham dan Hisyam Al Ghautsi (dari golongan Khawarij), serta Ali bin Abdurraziq (dari ulama su’ yang Modern-Sekuler), yang menolak kewajiban di atas. Orang yang terakhir ini, Ali Abdurraziq telah dipecat dari Dewan Ulama Al Azhar disebabkan statemennya bahwa tidak ada sistem khilafah dalam Islam. Inilah hukum mengenai kewajiban adanya khilafah Islam, yang sekaligus menunjukkan kedudukan hukum tersebut sebagai sifat hukum metode Islam, yaitu “wajib”.

Kewajiban menerapkan syariah Islam juga disuarakan oleh ulama Indonesia yang sangat masyhur, beliau adalah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau Adabul Alim wal Muta’alim. Beliau menyatakan, “Sebagian dari mereka (para ulama) menyatakan tauhid itu mewajibkan iman. Karena itu, tidak ada iman bagi orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Iman itu mewajibkan syariah. Karena itu pula, orang yang tidak ada syariah padanya tidak ada iman padanya dan tentu tidak ada tauhid baginya.”

Pada tahun 1920, sesaat menjelang diruntuhkannya khilafah Usmaniyah, seorang ulama asal India yang bernama Maulana Abul Kalam Azat Al Hindi menyatakan, “Tanpa adanya khilafah tidak mungkin Islam dapat diwujudkan secara sempurna, padahal tututan-Nya adalah sempurna. Oleh sebab itu, wajib atas kaum muslim untuk mencurahkan usaha mereka dalam rangka mencegah runtuhnya khilafah.”

Pada masa modern saat ini juga banyak sekali ulama-ulama yang bukan hanya berasal dari Hizbut Tahrir yang mewajibkan tegaknya khilafah.

Al ‘Alim Syaikh Khalid Abdul Fatah, seorang ulama asal Libanon menyatakan, “Sungguh, tidak ada harapan sama sekali untuk mengembalikan kemuliaan umat Islam kecuali dengan kembali pada agamanya, berjuang untuk mengokohkan hukum-hukum Allah, mengembalikan khilafah Islam dan mengangkat seorang khalifah untuk memimpin kaum muslim.”

Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab beliau tarikhul Madzahibul Islamiyah menyatakan, “Sungguh, jumhur (mayoritas) ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan salat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diagkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan yang bercerai berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama.”

Ulama Turki yang bernama Syaikh Syahi Mirdan Shari menyatakan, “Sesungguhnya umat Islam itu tidak ubahnya dengan satu tubuh, sedangkan khilafah tidak ubahnya dengan kepala dari tubuh tersebut, sementara tubuh (betapa pun besarnya), ketika tanpa kepala maka tidak akan dapat bergerak.”

Demikianlah para ulama dari berbagai masa bersuara tentang wajibnya khilafah ditegakkan. Pertanyaannya: Apakah sesuatu yang diwajibkan Allah dan Rasulullah serta dikuatkan oleh para ulama akan menjadi bencana bagi umat Islam, sebagaimana yang disangkakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Apakah sesuatu yang dijanjikan Allah adalah sesuatu yang buruk bagi umat Islam? Apakah khilafah Islam yang diwajibkan oleh para ulama di atas adalah sebagai sebuah bentuk penjajahan? Jawabannya, jelas tidak.

4 komentar:

  1. Assalmu alaikum wrwb!
    Saya sudah sering membaca hadist di atas yg mengatakan bahwa setiap muslim yang mati tanpa berbaiat maka matinya adalah mati kafir (naudzubillah suna naudzubillah).
    Maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana dengan nasib tiap2 diri kita ini? Apakah lalu kita akan mati kafir? Sedangkan kalau kita mau berbaiat lalu berbaiat dengan siapa? Jaman kita ini kan tidak ada khalifah? Lalu bagaimana solusi untuk kita2 semua agar tidak bernasib seperti kata hadis tsb yakni mati kafir karena tidak ada baiat?
    Mohon pencerahannya dari siapa saja yang paham soal ini. Jazza kallah khair.

    BalasHapus